JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut teknis permintaan uang kepada agen tenaga kerja asing (TKA) dalam kasus suap di Kementerian Ketenagakerjaan.
Penyidik memeriksa tiga saksi berinisial BT, KL, dan FF pada Selasa (28/05/2025). Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan penyelidikan fokus pada prosedur pengajuan izin TKA.
“Kami dalami pengetahuan saksi terkait permintaan uang dari pihak Kemenaker,” ujarnya di Jakarta.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus ini terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) periode 2019-2023.
BT diduga mantan PNS Kemenaker bernama Berry Trimadya. KL merupakan sopir mantan pejabat Putri Citra Wahyoe.
Sedangkan FF adalah Kepala Subbagian Tata Usaha Direktorat PPTKA. KPK menduga suap terjadi di lingkungan Ditjen Binapenta dan PKK Kemenaker.
Baca Juga:
Skandal MUJ: Ridwan Kamil dalam Radar Kejari Bandung Soal Korupsi Migas
Janji AJB AKR Land Dianggap Tidak Mengikat, Warga GWR Siap Gugat
Misi Bersih di Lautan: Danantara dan Rusia Bangun Galangan Kapal Hijau
13 Kendaraan Disita KPK dalam Penggeledahan Terkait Kasus Suap
KPK menyita 13 kendaraan dalam penggeledahan 20-23 Mei 2025. Aset yang diamankan terdiri dari 11 mobil dan 2 motor.
Penyitaan dilakukan untuk mengamankan barang bukti transaksi ilegal.
KPK belum merinci nilai ekonomi kendaraan yang disita. Namun, langkah ini memperkuat dugaan aliran dana tidak wajar.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus ini. Identitas mereka belum diungkap untuk kepentingan penyidikan.
Baca Juga:
Jasa Siaran Pers Persriliscom Melayani Publikasi ke Lebih dari 150 Media Online Berbagai Segmentasi
Nama Windy Idol Kembali Muncul dalam Skandal Suap Mahkamah Agung
“Kami belum bisa menyebutkan latar belakang tersangka, apakah aparatur atau swasta,” kata Budi. Penyidik masih melacak jaringan dan aliran dana terkait izin TKA.
Modus Permintaan
Uang ke Agen TKA Jadi Fokus Penyidikan
KPK mendalami modus permintaan uang dari pejabat Kemenaker ke agen TKA. Dugaan suap terjadi sejak 2019 saat proses pengurusan RPTKA.
Putri Citra Wahyoe, yang pernah menjabat Petugas Saluran Siaga RPTKA, menjadi salah satu pihak terkait.
Posisinya sebagai verifikatur pengesahan RPTKA diduga dimanfaatkan untuk transaksi ilegal.
Fira Firliza (FF) sebagai Kepala Subbagian Tata Usaha juga diperiksa. Keduanya diduga terlibat dalam prosedur izin yang tidak transparan.
KPK mengumpulkan bukti termasuk dokumen pengajuan izin dan catatan keuangan. Analisis forensik digital juga dilakukan untuk melacak komunikasi tersangka.
Baca Juga:
Gunung Raung Semburkan Abu Setinggi 1.200 Meter dari Puncak
Sudah Bayar Lunas Sejak 2010, Namun Ribuan Penghuni Apartemen Masih Tak Pegang Akta Jual Beli
Latar Belakang Kasus Suap di Lingkungan Kemenaker
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat tentang pungutan liar dalam pengurusan izin TKA.
Penyidik menemukan indikasi gratifikasi dan suap sistematis. Direktorat PPTKA menjadi sorotan karena wewenangnya mengesahkan RPTKA.
Izin ini menjadi syarat utama perusahaan mempekerjakan tenaga asing.
Pola yang terungkap melibatkan “fee tidak resmi” untuk mempercepat proses. Nilainya bervariasi tergantung jenis dan jangka waktu izin.
KPK mencatat potensi kerugian negara mencapai miliaran rupiah. Mekanisme ini diduga berlangsung selama empat tahun sebelum terendus.
Dampak Kasus Suap terhadap Layanan Perizinan Kemenaker
Skandal ini berpotensi mengganggu layanan perizinan TKA di Kemenaker. Asosiasi pengguna jasa TKA mengaku khawatir dengan prosedur yang kini lebih ketat.
“Kami harap KPK membersihkan oknum tanpa mengganggu proses legal,” kata Ketua Asosiasi Pengguna TKA Indonesia.
Di sisi lain, serikat pekerja menyambut baik operasi KPK. Mereka menilai suap izin TKA merugikan tenaga kerja lokal.
“Praktik ini membuka pintu bagi TKA ilegal,” ujar Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja. Kemenaker sendiri berjanji berkoordinasi penuh dengan KPK.
Analisis dan Solusi untuk Mencegah Korupsi Perizinan TKA
Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal di Kemenaker. Sistem perizinan elektronik yang sudah ada ternyata belum cukup.
Dibutuhkan mekanisme checks and balances lebih ketat. Pertama, audit eksternal rutin oleh BPK dan KPK perlu diintensifkan.
Kedua, pelibatan organisasi profesi dalam monitoring proses perizinan. Ketiga, sanksi administratif harus diperberat bagi pelanggar. Terakhir, sistem pelaporan whistleblower perlu diperkuat.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan praktik suap dapat diminimalisir.***